SEJARAH SMA POMOSDA

sma-pomosda
PENDAHULUAN

Dengan berkah dan rahmat Allah SWT guna mencapai tujuan: “memancarkan pendidikan luas tentang islam sehingga pesantren ini dapat mengeluarkan sebanyak-banyaknya orang yang cakap dan luas kepahamannya tentang agama islam, rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat berdasarkan taqwa (=takut dan tunduk) kepada Allah sehingga menjadi anggota masyarakat yang berilmu (=terpelajar), beramal dan bertaqwa”, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka PONDOK MODERN SUMBER DAYA AT TAQWA (POMOSDA), di desa Tanjunganom kecamatan Tanjunganom kabupaten Nganjuk Jawa Timur dengan kegiatan belajar mengajar TARBIYATUL MU’ALLIMIN AL-ISLAMIYAH (ISLAMIC TRAINING COLLEGE), menjanjikan “kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ‘arifun billah supaya menjadi sumber daya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur mengaktualisasikan penghayatan dan pengamalan pancasila”.

PONDOK MODERN SUMBER DAYA AT-TAQWA

Dalam mendidik, melatih, membina dan memberi arah yang jelas bagi para santri, almarhum Bapak Kyai Hassan Ulama’ (pendiri Pesantren Takeran Magetan) pada tahun 1880 M, yang kemudian diubah oleh cucu beliau, Bapak Kyai Imam Mursyid Muttaqien tahun 1943 menjadi Pesantren Sabill Muttaqien (PSM), telah meletakkan qaidah-qaidah supaya dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari bagi para santri dan warga pesantren. Qaidah tersebut kemudian dibakukan supaya tujuan dan cita-cita pesantren dapat menjadi kenyataan sehingga mengilhami pembentukan Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa.

PONDOK

Memenuhi amanat qaidah ketiga, bahwa guna memperdalam bekas dan pengaruh pendidikan serta mempererat tali kekeluargaan (disamping mengadakan penyiaran islam dengan bermacam-macam cara umpamanya mengadakan madrasah-madrasah dan sebagainya dimana pendidik dengan pihak yang dididik atau guru dengan murid hanya mempunyai kesempatan bergaul di kelas saja), harus
dipentingkan dan diutamakan: “adanya pendidikan cara pondok”, dimana kyai dengan santrinya atau guru dengan muridnya siang dan malam dapat bergaul dengan rapatnya.


Pendidikan cara pondok ini sudah dibuktikan oleh pengalaman. Bahwa ia itu adalah cara pendidikan yang mendalam, berpengaruh dan berjiwa, sehingga ro’ (=pendidik) dan ro’yahnya (=yang dididik) merupakan satu keluarga yang perasaan rohaniahnya diliuputi oleh mahabbah (=rasa kecintaan) yang besar yang menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.


Pendidikan cara pondok ini adalah guna memperdalamkan dan menjiwakan pengaruh dan bekas pendidikan dan kekeluargaan, sedang adanya madrasah adalah guna mempercepat langkah dan jalan tersebarnya pengajaran.


Dalam kedua-dua cara itu, dasar aturan pendidikan cara pondok harus dijalankan. umpamanya: melatih pelaksanaan akhlak mulia, melatih bersama-sama dalam ibadahnya, saling menolong, meringankan beban orang lain (masyarakat), hidup sederhana, memimpin diri pribadi (yakni: mengurus, menolong dan memerintah diri sendiri) dengan mengindahkan tuntutan pemimpin, mengutamakan beramal untuk kepentingan umum dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis (yakni tidak merasa sukar dimana saja), jangan mementingkan diri sendiri tetapi juga jangan tidak tahu hak diri dsb.


Kemudian untuk penyiapan dengan berbagai latihan supaya menjadi manusia yang mandiri menjadi sumber daya yang berkualitas, dewasa dab penuh percaya diri, pada qaidah nomor satu diamanatkan: “sokongan dan bantuan dari orang lain baru diterima jika tidak mengikat lahir maupun bathin dan capailah rasa hurriyah tammah (=jiwa yang merdeka sejati). menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar. ingatlah “yadul al ulya aula min yadi assufla”, artinya: tangasn yang diatas itu lebih mulia daripada tangan yang dibawah. tegasnya: “memberi lebih mulia daripada meminta”.


berkaitan dengan makna qaidah pertama diatas, pendiri Pondok Pesantren PSM di Tanjunganom (alm. Bapak Kyai Mohammad Kusnun Malibary) berwasiat kepada para muda yang ketika ditanya beliau jawabnya nganggur, “nganggur iku kancane syaitan”, kata belia. maka beliau lalu memberi petunjuk: ‘ndonya iku mosok angel to gus, sauger gelem ukril ya gempil, sing angel iku sejatine rak nek ora pikantuk pitulungane allah yaiku merangi nefsune dewe-dewe supaya gelem patuh lan tunduk didadekake tunggangan marak ing ngersae allah sahingga bisa tumeka”. Dalam pengelolaan dan pembinaan, pada qaidah nomor 2, 4, dan 5 telah diamanatkan.


Qaidah kedua: “pimpinan pendidikan yang ditakuti harus dijauhi. Yakni sedapat mungkin jangan dijalankan. sedangkan pimpinan yang dicintai dibiasakan, ingatlah pengaruh pendidikan berdasarkan mahabbah (=kecintaan) itu lebih besar dan lebih mendalam daripada pendidikan yang pengaruh pimpinannya ditakuti, oleh karena itu maka: rasa kekeluargaan diperkokoh dan diperkuat”.


Hanya dengan cinta, manusia bisa berkreasi. Cinta oleh Einstein disebut: “titik pusat gravitasi kesadaran emosional tempat terjadinya kreasi, cinta adalah panglima yang bisa mempersatukan segala nilai etik menjadi satu kesatuan yang dinamis dan harmonis”. Dan dikehendaki sebagai puncak rasa cinta adalah rasa cinta kepada dzat yang wajib wujudnya, al-ghaib, dekat sekali dengan hamba, yakni sang pencipta jagad seisinya, Allah SWT. rasa cinta demikian akan menumbuhsuburkan gairah dan semangat taat kepada rasullah sebagai jaminan untuk dicintai oleh-nya serta memperoleh ampunan yang besar.


Katakanlah: “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah (juga akan selalu) mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imron 31)


Qaidah keempat: “kita harus berusaha sekuat-kuatnya dapat menjalankan amal niatan “lii’lai kalimatilah” artinya menegakkan kalimat Allah semata-mata berdasarkan lillah, karena Allah. Dengan tak usah dan tak perlu kita melupakan soal keduniawian kita. Karena pekerjaan yang didasarkan atas niatan yang luhur dan suci berarti juga kemakmuran soal keduniawian. Dan pada hakikatnya: “pekerjaan yang didasarkan niatan demikian tentu menjamin kebahagiaan dunia akhirat”.


Dari itu: “pendidikan yang kita adakan, kita jalankan untuk Allah, menurut Allah, di jalan Allah dan karena Allah. setiap ro’ (=pendidik) mesti merasa: “kita bertanggung jawab terhadap diri pribadi, masyarakat dan yang terpenting terhadap tuhan”.


Qaidah keempat ini menetapkan bahwa ke-Ilahi-an harus dipandang sebagai referensi tertinggi dalam hierarki sistem referensi yang sifatnya mutlak. terhadap sistem referensi ke-ilahi-an inilah semua sistem referensu harus tunduk.


Qaidah kelima: “cara berbelanja diri sendiri (=self bedruiping sistem) sedapat mungkin harus dilakukan agar terlepas dari rasa menggantungkan diri kepada pertolongan orang lain. tetapi bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci (agama) dengan “faham buruh” dilempar jauh-jauh agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya dan agar kita lambat laun dapat mencapai pengabdian yang sempurna”.


Jadi: “adakanlah cara berbelanja diri sendiri tetapi jagalah jangan sampai cara itu dapat menyebabkan jauhnya apa yang kita kejar. yaitu: “mengabdi kepada Allah dengan pengabdian sejati murni. Kerjakanlah hal itu. Kebahagiaan dunia akherat terjamin sepenuhnya”.


Dalam qaidah kelima dengan jelas ditetapkan sebagaimana seharusnya pendidikan dijadikan arena membentuk manusia ideal. Bukan manusia homo economicus yang segala geraknya dinilai dengan uang sebab seluruh cipta angan-angannya telah dikuasai pamrih. Sehingga ibadahnya kepada Allah serta pengabdiannya menginginkan datangnya upah. ini adalah mental “faham buruh” yang harus dilempat jauh-jauh. Niatan demikian sama saja dengan mempersiapkan dirinya sendiri menjadi budak nafsu. Berdunia dengan watak akunya menjadikan diri menjadi manusia egois yang mengejar kepuasan konsumtif.


Kemudian qaiddah keenam dan ketujuh adalah qaidah yang menetapkan perihal barang-barang yang dijariahkan kepada pesantren bahwa barang-barang tersebut (baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak) supaya ditertibkan dengan administrasi yang baik. Barang-barang tersebut kembali kepada ahli waris menjaddi hak milik apabila :
a. Pesantren bubar
b. Tidak dipergunakan lagi oleh pesantren.


Sedang qaidah ke delapan menetapkan supaya keluhuran dan kemurnian jiwa pesantren terpelihara, jangan sampai segala kejadian peraturan pesantren menyimpang dari qaidah ini.

MODERN

Nama pondok yang diikuti kata-kata modern ini sebenarnya merupakan upaya mengenalkan jati diri yang sesuai dengan kemajuan zaman dan sekaligus mempersiapkan jawaban bagi setiap tantangan.


Sebagaimana dalam tujuan pesantren supaya dapat melahirkan sebanyak-banyaknya orang yang cakap serta tinggi berbagai kepahamannya tentang agama Islam agar menjadi orang yang rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat berdasarkan taqwa sehingga menjadi anggota masyarakat yang berilmu (=terpelajar), beramal, dan bertaqwa. didalamnya jelas mengandung makna modern sebagaimana yang terungkap diatas tetapi tetap berpijak pada jati diri pesantren.


Tujuan pesantren yang menekankan sasaran bagi sebanyak-banyaknya orang yang cakap serta tinggi kepahamannya tentang islam, rajin berbakti dan beramal bagi masyarakat berdasarkan taqwa (=takut dan tunduk) kepada Allah sehingga menjadi anggota masyarakat yang berilmu (=terpelajar), beramal, dan bertaqwa adalah cita-cita mengarahkan dan membentuk hamba Allah sebagai sumber daya manusia yang bertaqwa. Menjadikan insan “cahaya tuhan” karena ‘arifun billah.


Memenuhi sebagai orang yang cakap harus dengan berbagai pendidikan dan pelatihan ketrampilan kerja. Menguasai sains dan teknologi, penguasaan berbagai bahasa yang diperlukan untuk menunjang masa depan serta luasnya wawasan, memiliki ciri modern dalam berpikir dan berbuat. Yakni berjiwa membangun, pembaharu, guna mengelola garapan dunia bagi kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di dunia yang diciptakan oelh Allah SWT dengan tidak sia-sia ini. Semua itu semata-mata demi untuk subhanaka. Memahasucikan dzat wajibul wujud yang Allah asma-nya. dekat sekali keberadaan-nya. Karena itu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati.


Sebagaimana wasiat pendiri pondok pesantren tanjung, yakni almarhum Bapak Kyai Mohammad Kusnun Malibary kepada setiap pemuda yang menghadap beliau apabila ditanya memberikan jawab masih nganggur, Beliau memberikan petunjuknya bahwa hidup di dunia ini sebenarnya tidak sukar. Asal mau “ukril” pasti gempil (diberi rezeki Allah). Untuk menjadikan ukril ini yang memerlukan kesiapan-kesiapan, pendidikan dan pelatihan yang memadai sehingga menjadi orang yang ulet dalam usaha, banyak kreatifitasnya, banyak inisiatifnya, tidak mudah menyerah dan tidak mudah putus asa apalagi kecil hati. Selalu berjiwa sabar dan tawakkal kepada Allah SWT. (dalam wasiat almarhum tersebut justru yang sulit apabila tidak mendapat hidayah dan pertolongan Allah SWT adalah menundukkan nafsunya sendiri supaya rela,patuh dan tunduk dijadikan kendaraan dalam tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, hingga dapat sampai dengan selamat).


Karena itu dalam memenuhi kriteria modern, dalam pondok modern sumber daya at-taqwa ini menekankan pentingnya disiplin dan semangat belajar yang tinggi disertai dengan upaya mematangkan pemahaman yang tinggi tentang agama islam sehingga penghayatan imannya dan taqwanya kepada Allah SWT terbentuk dalam bentuk jamaah yang guyub rukun karena suburnya pengembangan akhlak dan budi pekerti yang baik.kemudian berlatih menjadi ukril.


Dalam praktek belajar dan mengajar sebagai proses pencapaian tujuan yang sedemikian itu maka kita gunakan sistem pendidikan di Pondok Modern Gontor Ponorogo dan SMA Taruna Nusantara Magelang sebagai acuan. Sekaligus mementingkan pula praktek-praktek ketrampilan dan kejuruan dan latihan kerja keras.

SUMBER DAYA AT-TAQWA

Dalam qaidah ke sembilan telah ada pedoman namun harus disertai dengan kecermatan dan kesunggyhan guna mendalaminya secara benar. bunyi qaidah tersebut adalah sebagai berikut:” dengan sabar dan tawakkal kita harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa”.
Pengorbanan yang kita berikan untuk mendidik diri pribadi dan masyarakat harus kita berikan dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya sehingga pemberian pengorbanan kita itu tidak terasa lagi oleh kita. karena orang yang ikhlas mengabdi dan berkorban untuk Allah dan karena Allah itu tentu tidak merasa lagi berkorban dan berrbakti. Tetapi kelahirannya dan kebatinannya serta segala gerak-gerik orang yang demikian itu dimana saja dan kapan saja tentu berfaedah dan bermanfaat bagi orang lain (masyarakat).

Sabar dalam pendekatan makna sufi (bagaimana seharusnya membeningkan hati) adalah sebuah derajat atas pertolongan Allah SWT. sehingga dengan itu sendiri (sebagai wujud nafsu) agar selalu “mau” memenuhi kehendak dan amanat Allah dan rasul-nya. memberlakukan pada dirinya untuk terus menerus berjihadun nafsi (dengan ulet, tahan segala ujian dan cobaan, tidak kenal putus asa dan kecil hati, penuh harap atas kasih tuhannya demi cita-citanya untuk dapat selamat dan bahagia bertemu dengan diri-nya tuhan zat yang wajib wujud-nya, al ghaib dan Allah asma-nya. keadaan demikian akan menempatkannya pada martabat bagi para malaikat Allah yang rela berlaku sujud (kalmayyiti) di hadapan wakil-nya dan asma-nya ini) tak akan pernah ngejawantah di muka bumi. sekaligus sebagai wujud nyata dari pada jiwa dan semangat disiplin karena timbul dari keinsyafan dan kesadaran yang mendalam.


Kemudian tawakkal yang asal kata dari wikalah. Maknanya mewakilkan tawakkal kepada Allah berarti dengan sepenuhnya rasa dalam perasaannya mewakilkan segala perbuatan lahir bathinnya, gerak dan tingkah lakunya kepada diri-nya zat al-ghaib yang wajib wujud-nya. Demikian halnya terhadap seluruh daya dan kekuatannya serta apapun yang biasanya diaku oleh manusia sebagai miliknya. sama sekali tidak ada yang diaku masuk dalam “Allahu ashshomad”, bergantung dengan pasrah sepenuh hati kepada diri-nya. Rasa jiwa yang selalu segar dalam sibghatAllah ( di dalam celupan Allah).

Hal demikian terjadi karena pertolongan Allah semata atas dibukanya nafsu dan juga hati nuraninya terhadap penjelasan nabi Muhammad SAW (al-hadits). Bahwa ketika seorang telah genap seratus dua puluh hari dalam kandungan sang ibu (telah berupa segumpal daging) lalu ditiupkan didalamnya roh dari diri-nya yang selanjutnya telah ditetapkan tulisan tentang rizkinya, umurnya (azalnya), amal perbuatannya serta nasib baik buruknya. oleh karena seseorang tak akan tahu betapa nasib dirinya dan supaya sepenuhnya bergantung diri dan pasrah sepenuh hati kepada sang penentu segalanya maka nabi muhammad saw dengan sabdanya melanjutkan bahwa meskipun seseorang telah mengamalkan amal perbuatan ahli surga sehingga antar dia dan surga itu tidak ada sehesta jaraknya (saking dekatnya), akan tetapi tulisan telah menetapkan bahwa dia adalah ahli neraka lalu mengerjakannya, maka masuklah ia menjadi ahli neraka. Demikian pula sebaliknya. Meskipun seseorang telah mengamalkan perbuatan sebagai ahli neraka sehingga ia dengan neraka tidak ada satu hesta (saking dekatnya) akan tetapi tulisan telah menetapkan bahwa dia adalah ahli surga lalu mengamalkannya maka masuklah dia menjadi ahli surga.

Karena itu qaidah dan akhlak adalah bagai sebuah daun sirih. Meski dibolak-balik tidak sama, namun apabila digigit sama rasanya. Aqidah tentang tauhid guna mengenali diri-nya zat yang satu-satunya yang wujud dan yang ada dengan itu selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati kapan saja, dimana saja dan sedang apa saja. Kemudian akhlak yang tumbuh dari ilmunya yang bermanfaat. Yakni “huwa maayu’aarifuka min ‘uyubi nafsika min hubbi ad-dunya wa afaati ‘amalika”. Dengan ilmunya yang bermanfaat itu seseorang akan selalu tahu terhadap aib dirinya, aibnya kumantil dunia serta mengetahui bencananya amal bak api membakar kayu kering. yaitu takabbur, riya’, sum’ah dan ujub.

TARBI'ATUL MUALIMIN AL-ISLAMIYAH

Sebagaimana diketengahkan dari penjelasan di atas bahwa proses yang hendak dituju dan dicapai oleh pondok modern sumber daya at-taqwa dengan pelaksanaan proses belajar yang diberi nama tarbiyatul mu’allimin al-islamiyah, mendidik, membimbing dan mengarahkan menjadi insan ulul albab. satu sisi benar-benar terjamin tercapainya pengenalan terhadap ada dan wujud diri-nya zat al-ghaib Allah asma-nya sehingga dengan demikian akan terdidik dan terlatih mempunyai hati nurani, roh dan rasa yang senantiasa mengingat-ingat dan menghayati ada dan wujud diri satu-satunya zat al-ghaib yang wajib wujud-nya dan Allah asmanya ini kemudian “wayatafakkaruna fi kholqissamaawati wal ardhi maa kholakta haadza baathila”. Mendidik dan melatih terhadap kesiapan generasi untuk menguasai sains dan teknologi.

SHARE BY MEDIA